Metode
Pengukuran Dalam Seleksi Karyawan
Pada
waktu melakukan seleksi karyawan, organisasi berusaha melakukan pengukuran yang
akurat dan reliable dengan harapan mereka akan dapat memilih karyawan yang
paling “tepat.” Dengan kata lain, psikolog diharapkan dapat membuat prediksi
mengenai perilaku dan prestasi kerja individu di masa yang akan datang (Kwaske
& Laser, 2004). Hal ini dianggap penting karena tanpa karyawan yang
kompeten dan bermotivasi tinggi, organisasi tidak akan dapat berfungsi secara
efektif. Banyak perusahaan rela menghabiskan ribuan dollar untuk merekrut satu
karyawan yang terbaik, dan hal ini dianggap sebagai investasi yang
menguntungkan (Stickrath & Sheppard, 2004). Ketika kita membahas pengukuran
dalam konteks pemilihan karyawan, pada umumnya asosiasi yang muncul adalah
pengukuran psikometrik atau kuantitatif. Pengukuran semacam ini yang banyak
digunakan oleh perusahaan pada saat ini adalah pengukuran kemampuan verbal,
numeric, logika abstrak dan kepribadian atau gaya kerja. Ketika pengukuran yang
lebih subjektif seperti wawancara atau assessment centre digunakan, maka lebih
besar kemungkinan digunakannya metoda kualitatif. Namun demikian, hasil
pengukuran subjektif inipun seringkali dikuantifikasi dalam bentuk rating.
Tulisan
ini akan membahas baik teknik kuantitatif maupun kualitatif yang digunakan
dalam praktek seleksi karyawan serta untung-rugi dari masing-masing teknik.
PENGUKURAN KUANTITATIF
Pengukuran
dalam konteks seleksi karyawan dapat didefinisikan sebagai, “satu set prosedur
yang menilai pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, dan karakteristik kepribadian
seorang individu dengan tujuan membuat rekomendasi… mengenai kesesuaian
individu tersebut untuk sebuah pekerjaan” (Kwaske & Laser, 2004, pp.
186-187). Inilah yang berusaha dicapai oleh staf SDM setiap perusahaan melalui
proses seleksi yang menggunakan metode pengukuran kuantitatif.
Alat-alat
pengukuran kuantitatif seringkali diciptakan oleh para psikolog melalui proses
sebagai berikut (Stickrath & Sheppard, 2004): item-item tes disusun dengan
tujuan untuk mengukur sebuah atribut dan hasilnya berupa alat tes eksperimental
diadministrasikan pada sebuah sampel yang mewakili populasi target. Item yang
gagal memenuhi standard minimum psikometris akan dibuang dan proses pembuangan
ini akan menghasilkan satu set item yang akan dipertahankan. Validitas
prediktif dari alat tes ini lalu bisa diketahui dengan cara mengukur korelasi
antara skor tes dengan prestasi kerja. Ada banyak kemampuan dan karakteristik
manusia yang bisa dikuantifikasi untuk tujuan pengukuran. Stickrath &
Sheppard (2004) memberikan sebuah contoh kasus sebagai berikut: Pada waktu
memilih petugas penjara, salah satu karakteristik yang dibutuhkan adalah
kemampuan petugas untuk mengetahui apakah perkelahian antar narapidana akan terjadi.
Untuk itu, hal di atas dijadikan salah satu item dalam suatu alat tes yang
disebut Ohio Corrections Officer Psychological Inventory. Untuk kebutuhan yang
sama yaitu memilih petugas penjara, di Amerika Serikat juga beredar sebuah alat
tes berupa video. Para kandidat diminta menonton beberapa skenario di
lingkungan penjara dan menjawab soal pilihan berganda. Mereka harus menjawab
minimal 70% dari pertanyaan secara benar untuk dapat melanjutkan ke tahap
seleksi berikutnya. Selain itu, ada beberapa pilihan jawaban dalam soal pilihan
berganda tadi yang dianggap “kesalahan fatal” dan kandidat yang memilih pilihan
fatal tadi akan otomatis gugur dari proses seleksi (Stickrath & Sheppard,
2004).
Contoh
kasus lain penggunaan pengukuran kuantitatif dalam seleksi karyawan diberikan
oleh Harris & Lee (2004). Mereka menggunakan sebuah model kepribadian yang
disebut Model 3M sebagai dasar untuk mengembangkan sebuah alat tes kepribadian.
Model ini menyatakan bahwa kepribadian mengalir dari trait yang bersifat umum
ke khusus. Harris & Lee (2004) mengatakan bahwa model ini tampaknya sesuai
untuk digunakan dalam seleksi staf penjualan karena banyak trait-trait dalam
model ini yang relevan untuk prestasi kerja di bidang penjualan, misalnya trait
kompetitif. Namun di lain pihak model ini tetap mengakui adanya trait
kepribadian yang lebih umum. Dengan menggunakan model ini, kuesioner yang
dihasilkan merupakan kombinasi antara item-item yang mengukur kepribadian
menurut teori kepribadian Big Five yang umum, dengan item-item yang sangat
spesifik, misalnya “Saya mengajak pelanggan untuk membicarakan kebutuhan mereka
dengan saya” (Harris & Lee, 2004).
Contoh
kasus ketiga akan menggambarkan pengukuran work drive (kecenderungan untuk
bekerja keras melebihi ketentuan) secara kuantitatif melalui kuesioner
kepribadian (Lounsbury, Gibson, & Hamrick, 2004). Item-item menanyakan
apakah peserta tes memiliki kecenderungan untuk bekerja melebihi jam kerja yang
ditentukan, bekerja lebih dari tanggung jawab yang diberikan, selalu berenergi
tinggi di tempat kerja, dan menganggap diri mereka sebagai pekerja keras
dibandingkan dengan orang lain. Penelitian validitas menunjukkan bahwa prestasi
kerja berkorelasi lebih tinggi dengan work drive dibandingkan dengan tes
kognitif ataupun tes kepribadian Big Five (Lounsbury, Gibson, & Hamrick,
2004).
Contoh-contoh kasus di atas mengilustrasikan
beberapa kelebihan metode kuantitatif:
- melakukan penilaian terhadap diri sendiri. Kandidat pada umumnya akan berusaha memberikan gambaran yang terbaik mengenai diri mereka sehingga mereka akan dapat memperoleh pekerjaan. Untuk itu, tes kuantitatif sebaiknya memiliki item-item social desirability atau sejenisnya untuk mengurangi bias yang ada. Administrasi yang mudah, dan juga adanya peluang untuk memanfaatkan teknologi sehingga human error dapat dikurangi. Dalam contoh kasus seleksi petugas penjara, administrasi tes video dengan menggunakan komputer berarti skor akhir akan otomatis dihitung oleh komputer, dan juga memungkinkan adanya pilihan jawaban yang dijadikan “kesalahan fatal”, di mana kandidat yang memilih pilihan fatal tersebut akan otomatis gugur walaupun skor akhirnya tinggi (Stickrath & Sheppard, 2004). Selain itu, jika tes dapat dilakukan secara online, maka kandidat dari lokasi yang berbeda-beda akan dapat mengikuti tes tanpa perlu bepergian.
- Prosedur standard, reliability, dan validity relatif mudah diketahui. Semua contoh alat pengukuran yang diberikan di atas telah diuji secara psikometris dan terbukti reliabel serta valid. Prosedur standard digunakan untuk memastikan bahwa perusahaan memperlakukan semua kandidat seleksi secara adil dan tanpa bias (Stickrath & Sheppard, 2004).
- Perbandingan yang objektif antar kandidat, karena semua kandidat dibandingkan dengan norma yang sama. Kebanyakan perusahaan saat ini masih menggunakan norma yang dibeli bersamaan dengan alat tes, karena mereka tidak memiliki data tes mereka sendiri (Kwaske & Laser, 2004). Namun jika perusahaan melakukan administrasi tes dengan komputer, maka data tes akan dengan sangat mudah dapat dijadikan norma sehingga alat tes kuantitatif tersebut akan menjadi lebih bermanfaat.
Di lain
pihak, kerugian menggunakan metode pengukuran kuantitatif antara lain:
- Kemungkinan adanya faking atau bias karena kandidat
- Perilaku curang. Seperti juga tes pada umumnya, akan ada peserta tes yang berusaha menyontek supaya mereka mendapatkan skor tinggi. Dengan digunakannya komputer, sebuah solusi dapat dilakukan, yaitu item tes yang tampil di hadapan kandidat dipilih secara random dari sejumlah besar item yang tersimpan dalam komputer (Stickrath & Sheppard, 2004). Karena masing-masing kandidat melihat item yang berbeda, mereka terpaksa menjawab sendiri tanpa bisa menyontek.
PENGUKURAN KUALITATIF
Pengukuran
kualitatif memiliki tujuan yang sama dengan pengukuran kuantitatif, yaitu
memperoleh informasi mengenai para peserta tes. Namun, metode kualitatif tidak
bersifat statistic dan administrasinya tidak seketat metode kuantitatif
(Goldman, 1992). Contoh pengukuran kualitatif antara lain card sort (menyusun
kartu), contoh hasil kerja, and simulasi (seperti in-basket dan role play).
Hingga saat ini, pengukuran kualitatif tidak terlalu banyak digunakan untuk
tujuan seleksi karyawan, disebabkan antara lain (Goldman, 1992):
- Kurangnya standardisasi, reliability, validity, dan norma, yang mengakibatkan timbulanya masalah dalam seleksi karyawan, misalnya kesulitan dalam membandingkan kandidat.
- Dibutuhkannya lebih banyak keahlian, waktu, dan tenaga untuk mengadministrasikan dan menginterpretasikan hasil tes.
Namun, metode pengukuran
kualitatif juga memiliki keuntungan yang tidak dimiliki oleh metode kualitatif,
antara lain (Goldman, 1990, 1992):
- Holistik dan terintegrasi, artinya metode pengukuran ini melihat peserta tes sebagai individu yang utuh dan bukan hanya salah satu aspeknya saja (misalnya minat saja atau ketrampilan saja).
- Peserta lebih berperan aktif, sehingga peserta dapat lebih memberikan kontribusi pada hasil pengukuran, dan pada akhirnya proses pengukuran tersebut lebih bermakna secara pribadi bagi mereka.
- Administrasinya fleksibel dan tes dapat diadaptasikan pada individu yang berbeda baik dari segi suku, usia, maupun jenis kelamin.
Jika
pengukuran kualitatif digunakan pada proses seleksi, pada umumnya hanya untuk
menambahkan informasi yang sudah diperoleh dari pengukuran kuantitatif sebagai
metode utama. Misalnya, Keenan (1995) memberikan contoh bawa assessment centre
banyak digunakan untuk menyeleksi lulusan S2 di Inggris, sebagai tambahan
informasi atas metode yang lebih tradisional seperti tes kepribadian dan kognitif.
Assessment centre tersebut biasanya mencakup wawancara dan simulasi seperti
case study, presentasi, serta in-tray. Walaupun masing-masing kandidat
mendapatkan skor rating secara kuantitatif, informasi kualitatif tetap dicatat
berupa observasi dan hasil observasi ini digunakan dalam pembuatan keputusan
akhir. Masalah yang timbul adalah masalah pelatihan. Banyak perusahaan tidak
memberikan cukup pelatihan pada para assessor (Keenan, 1995). Karena proses
penilaian yang cukup kompleks, kurangnya pelatihan dapat menyebabkan
berkurangnya efektivitas assessment centre. Penelitian menunjukkan bahwa
ketrampilan assessor memiliki pengaruh yang cukup besar pada validitas
pengukuran (Kwaske & Laser, 2004). Masalah ini menjadi sulit diatasi jika
staf yang bukan berasal dari departemen SDM (misalnya calon atasan kandidat)
turut disertakan dalam proses seleksi.
Cranston
(2004) memberikan contoh lain penggunakan metode kualitatif. Sebuah perusahaan
finansial menggunakan pengukuran kualitatif yaitu prestasi kerja kandidat fund
manager sebelum melamar ke perusahaan tersebut untuk membantu memutuskan apakah
kandidat tersebut akan diterima atau tidak. Biasanya, prestasi kerja fund
manager diukur secara kuantitatif dengan menghitung untung-rugi yang dihasilkan
bagi perusahaan. Namun dalam contoh kasus ini, perusahaan berhasil mengurangi
kesalahan dalam seleksi fund manager dengan cara menanyakan alasan mengapa
seorang kandidat tidak memiliki prestasi yang baik sebelumnya. Jika fund
manager dengan hasil kerja yang buruk dapat memberikan alasan yang masuk akal
untuk kerugian yang mereka hasilkan, maka fund manager tersebut bisa saja
diterima. Keuntungan utama dari metode ini adalah perusahaan dapat menangkap
SDM yang ditolak perusahaan lain karena adanya hasil kerja yang buruk di masa
lampau walaupun hasil kerja yang buruk tersebut bukanlah kesalahannya. Namun,
proses ini sangat memakan tenaga karena harus melibatkan para eksekutif dari
perusahaan (Cranston, 2004).
KESIMPULAN
Tulisan
ini bermaksud menunjukkan bahwa baik pengukuran kualitatif maupun kuantitatif
memiliki keuntungan dan kerugiannya sendiri. Dalam situasi ideal, perusahaan
sebaiknya menggunakan kedua metode ini dalam memilik karyawan. Kandidat tidak
dapat diwakili semata-mata oleh skor tes mereka saja, karena itu integrasi atau
sintesis dari berbagai alat tes sebaiknya digunakan untuk memutuskan apakah
seorang kandidat cukup sesuai untuk bekerja di suatu perusahaan (Kwaske &
Laser, 2004). Akan lebih baik lagi jika setelah berbagai tes tersebut
diadministrasikan, perusahaan melakukan evaluasi untuk mengetahui validitas
dari pengukuran yang dilakukan (Kwaske & Laser, 2004). Namun, karena
penerapan situasi ideal ini membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit,
prioritas dapat diberikan pada seleksi karyawan untuk posisi-posisi kunci dalam
perusahaan, karena kesalahan seleksi untuk posisi-posisi kunci tersebut
memiliki resiko yang lebih tinggi bagi perusahaan. Dengan cara ini, perusahaan
dapat memaksimalkan keuntungan dari kedua metode, dengan tetap mempertahankan
biaya seleksi pada tingkat yang dapat diterima.
Dengan
adanya metode dalam sebuah perusahaan, maka perusahaan tersebut akan lebih
mudah dan teratur dalam mencapai tujuan, visi dan misi yang telah ditetapkan.
Namun menurut saya, ada beberapa factor yang mendukung untuk berjalannya suatu
metode yang digunakan dalam sebuah perusahaan atau organisasi, antara lain :
organisasi yang baik dan pemimpin organisasi yang tentunya juga harus baik
dalam memimpin, sumber daya manusia yang berkualitas untuk melakukan kerja sama
agar tercapai suatu tujuan, teori organisasi yang dipakai harus sesuai dengan
jenis atau bentuk organisasi yang dibentuk di dalam perusahaan tersebut. Dengan
demikian perusahaan tersebut akan lebih mudah dalam mencapai tujuanya serta
akan lebih terstruktur dan rapih karena memiliki metode dalam organisasi nya.
sumber : http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/seleksi.html