HAK DAN
KEWAJIBAN WARGA NEGARA MENURUT PASAL 29
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa setiap warga Negara memiliki hak dan
kewajiaban dalam memeluk agama yang tertuang dalam pasal 29.dalam UUD 1945 yang merupakan dasar Negara yang diharapkan menjamin
perjalanan kehidupan bangsa beserta warganya, tentunya dalam suatu sistem
ketata-negaraan mutlak hukumnya adanya suatu perundang-undangan atau peraturan
yang mana fungsi utama dari kesemuanya itu adalah guna mengatur dan
mengendalikan arah suatu sistem negara agar tidak melenceng dari jalurnya. Hak
ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut
atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. Kebebasan
menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat
dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan
kebebasan mendasar orang lain. Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk
menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk
memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan
keyakinan mereka sendiri.
Indoneisa memiliki keberagaman
budaya, tak terkecuali system kepercayaan atau agama. Yang mana memiliki 6
agama yang diakui Negara yaitu: Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha, dan Konghucu. Disamping toleransi antar umat beragama, Negara
juga mengaturnya dalam UUD 1945 pasal 29 yang bunyinya:
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
1.2 Permasalahan
Dari skeian banyak agama di
Indonesia, sering sekali kita melihat konflik yang terjadi di bumi pertiwi kita
ini. Mulai dari konflik antarumat beragama hingga penistaan agama.
1.2 Tujuan
Adapun tujuannya adalah untuk saling
bertolenransi antar umat beragama, demi terciptanya hidup yang harmonis,
tentram dan damai.
BAB II
PERMASALAHAN
Kebebasan beragama ialah prinsip
yang menyokong kebebasan individu atau masyarakat, untuk mengamalkan agama atau
kepercayaan dalam ruang peribadi atau umum. Kebebasan beragama termasuk
kebebasan untuk menukar agama dan tidak mengikut mana-mana agama. Dalam negara
yang mengamalkan kebebasan beragama, agama-agama lain bebas diamalkan dan ia
tidak menghukum atau menindas pengikut kepercayaan lain yang lain daripada
agama rasmi. Perkara 18 dalam Kovenan Antarabangsa PBB tentang Hak-Hak Sivil
dan Politik menyatakan dasar yang menafikan kebebasan seseorang untuk
mengamalkan agamanya merupakan satu kezaliman rohaniah. Kebebasan beragama
merupakan satu konsep perundangan yang berkaitan, tetapi tidak serupa dengan,
toleransi agama, pemisahan di antara agama dan negara, atau negara sekular
(laïcité).
Perisytiharan
Hak Asasi Manusia Sejagat yang diterima oleh 50 anggota Perhimpunan Agung PBB
pada 10 Disember 1948, dengan lapan berkecuali, di Paris, mentakrifkan
kebebasan beragama sebagai: "Setiap orang berhak kepada kebebasan
berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak-hak ini termasuk kebebasan untuk
menukar agama atau kepercayaan, dan kebebasan, sama ada sendirian atau dalam
masyarakat bersama orang lain dan dalam ruang awam atau peribadi, untuk
menzahirkan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, amalan, penyembahan dan
pengamalan agama."
Hak atas
kebebasan beragam dan berkeyakinan dalam konteks memilih dan memeluk agama
adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapan. Keberadaannya
memiliki peran yang krusial karena penghromatan dan perlindungan hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan berkaitan dengan kepastian akan terpenuhinya hak -
hak sipoldan ekosob seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan. Akses administrasi
kependudukan. Dalam berbagai intrumen internasional telah disebutkan bahwa
cakupan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan Ruang Publik dan Ruang
atau Privat atau Forum Internum dan Forum Eksternum dan Pembatasan Hak
Berkeyakinan dan Beragama. Hasil Pemetaan yang dilakukan Komnas HAM menunjukkan
bahwa peraturan - peraturan nasional terkait hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan sudah tersedia mulai dari konstitusi sampai peraturan turunan
dibawahnya. Namun beberapa peraturan menjadi lebih dominan dan menjadi acuan
dalam penyusunan kebijakan dan masing masinng daerah. Kondisi ini memacu
banyaknya indikasi pelanggaran hak asasi manusia di berbagai aspek kehidupan pendidikan,
kesehatan, pekerjaan dan administrasi kependudukan. Akhirnya, patut
digarisbawahi bahwa negara sebagai pengemban kewajiban dan tanggungjawab perlu secara maksimal menerapkan
langkah - langkah penghormatan dan perlindungan hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan bagi warga negaranya.
A. Fakta-fakta
Ketidak bebasan Beragama dan Berkeyakinan
Sejarah
kehidupan bangsa Indoneisa mencatat bahwa Fenomena diskriminasi dan kekerasan
bukan hanya terjadi di dalam lingkup kehidupan agama. Akan tetapi di dalam
lingkup kehidupan ekonomi yang berkelindan dengan masalah-masalah ras dan
golongan. Diskriminasi dan kekerasan di masa lalu, khususnya di kota-kota
besar, lebih didominasi oleh kecemburuan masyarakat terhadap etnis Tionghoa.
Dalam kasus Sampit, yang menonjol adalah kecemburuan masyarakat setempat
terhadap etnis Madura. Pada masa lalu, di Aceh dan beberapa daerah lain,
kecemburuan ditujukan kepada orang Jawa, terutama karena “orang Jawa” dianggap
menguasai asset dan akses politik dan ekonomi melalui fasilitas negara.
Namun sekarang ini, persoalan semakin bergeser ke ranah kehidupan agama
dan keyakinan. Namun, masalah kebebasan beragama dan keyakinan, sesungguhnya
telah muncul juga pada masa Orde Lama, Orde baru. Hanya pada periode reformasi
ini, masalah kebebasan beragama itu semakin meningkat intensitas maupun
akselerasinya. Di masa Orde Lama (1945-19660, pemerintah mengeluarkan Penetapan
Presiden (Penpres) RI No. 1 tahun 1965 yang menyatakan : “ agama yang dipeluk
penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu”. Penetapan
ini bersifat menjelaskan, tidak membatasi. Hal ini dikemukakan dalam penjelasan
Penpres tersebut : “ ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi,
Zaratustranian, Shinto, Taoisme, dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan
penuh seperti diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD’45, dan mereka dibiarkan
adanya” Kata seperti
artinya bahwa penyebutan beberapa kepercayaan itu sekedar contoh. Ada banyak
agama dan kepercayaan lain yang berkembang dan diakui di Indonesia, seperti
Kaharingan pada masyarakat Dayak (Kalteng), Pangestu pada masyarakat Jawa, atau
Parmalim (Sumut), Wiwitan (Baduy-Banten). Semua agama dan kepercayaan itu
dibiarkan adanya, meskipun tidak terlalu diakui eksistensinya (lihat Gaus AF,
2008).
Pada
masa Orde Baru, pembatasan dilakukan terhadap agama Konghucu (yang pada masa
Orde Lama justru diakui). Alasannya lebih bersifat politis, yaitu dugaan adanya
keterlibatan Republik Rakyat Tiongkok pada peristiwa 1965. Sehingga melalui
Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat
Cina, seluruh aktivitas peribadatan Konghucu, termasuk perayaan Imlek, dilarang
(ibid.) Pada masa Orde Baru, agama resmi-yang diakui oleh negara hanya lima
agama tersebut di atas. Agama-agama lokal diharuskan untuk bergabung dengan agama-agama
yang mirip dengan agama atau kepercayaan lokal itu. Misalnya orang-orang yang
memeluk agama Kaharingan harus masuk agama Hindu, meskipun sebenarnya
kedua ajaran agama itu berbeda. Bagi mereka yang beragama Konghucu, dipaksa
untuk pindah agama, menjadi Katolik atau Budha. Berbagai proses untuk
meniadakan eksistensi agama atau kepercayaan lokal dilakukan, antara lain
melalui pembuatan kartu identitas diri, seperti pembuatan KSK atau KTP. Di
dalam formulir yang harus diisi, hanya ada lima agama yang disebutkan, sehingga
mereka yang memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda terpaksa harus
menuliskan salah satu dari lima agama yang diakui oleh negara. Untuk sebagian
proses-proses itu masih berlangsung sampai sekarang.
Di
masa reformasi sekarang ini, di mana kebebasan umum semakin terjamin, kebebasan
beragama, terutama dari sisi keamanan para pemeluknya, justru mengalami
kemunduran. Jika di masa Orde Lama dan Orde Baru, pembatasan atas
kebebasan beragama dilakukan oleh negara, sekarang pembatasan itu sebagian
besar justru dilakukan oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Oleh karena itu, di
jaman kebebasan ini, kelompok-kelompok minoritas, khususnya kelompok minoritas
agama dan kepercayaan justru mengalami ketidakbebasan. Kasus-kasus itu bergerak
dan terus semakin membesar. Mulai kasus Komunitas Eden (Lia Eden), kasus
Al-Qiyadah (Ahmad Mushadeeq), kasus penyerbuaan kantor Jaringan Islam Liberal,
kantor Fahmina Institute di Cirebon, penyerbuan kelompok Aliansi Kebangsaan
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), hingga kasus Penyerbuan,
penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap para pengikut Ahmadiyah. Kasus
kekerasan terhadap Ahmadiyah merupakan kasus paling besar dan nampaknya
berjangka panjang, dengan puncaknya di Cikeusik, Banten. Di luar itu, kita
menyaksikan penyerbuan Pesantren Syiah di Bangil-Pasuruan, Jawa Timur. Di luar
semua itu, kepada kita juga disuguhkan fakta, bahwa sejak 1 Januari 2004 – 1
Desember 2007, ada 108 gereja di seluruh Indonesia yang dirusak, meskipun
proses pendiriannya telah mengikuti ketentuan yang berlaku. Kasus penyerbuan
dan pengrusakan gereja ini terjadi lagi di Temanggung-Jawa Tengah pada Februari
ini.
B.
Apa alasan dibalik penyerbuan, pengrusakan, pembunuhan dan teror itu?
Ada
banyak faktor yang memicunya. Akan tetapi, alasan mendasar yang bergerak
dibalik semua kasus-kasus tersebut di atas adalah munculnya “penguasa rezim
dunia moral” yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, memiliki keyakinan akan
kebenarannya sendiri dan melalui jalan teror dan kekerasan, memaksakan
keyakinannya kepada kelompok-kelompok lain. Mereka yang berbeda dan menolak
tunduk pada kebenaran yang diusung “penguasa rezim dunia moral” ini, akan
dipaksa, diserbu bahkan dibunuh. Mengikuti Foucault, penguasa rezim dunia moral
ini memiliki aparatusnya sendiri. Tugas dari aparatus rezim dunia moral adalah
membangun klaim-klaim kebenaran, melakukan kontrol, membangun wacana mengenai
salah dan benar, serta memberikan sanksi kepada mereka yang dianggap
menyimpang. Stigma kafir, murtad, menista, sesat, merupakan kata kunci untuk
menyingkirkan orang atau kelompok yang memiliki keyakinan berbeda dan dengan
cara itu mereka menyatakan bahwa, tindakan menyerbu, menganiaya, membunuh,
merusak harta milik orang lain adalah tindakan yang dibenarkan. Soalnya adalah,
mengapa kekerasan berbasis agama baru marak di masa reformasi ini? Pada masa
Orde Baru, kecenderungan kekerasan oleh masyarakat dikendalikan secara ketat
melalui kontrol negara, dalam hal ini aparat militer. Pada masa kebebasan
sekarang ini, atas nama demokrasi, pemerintah tidak melakukan pelarangan maupun
penindakan preventif. Penindakan selalu dilakukan setelah kasusnya terjadi.
Dengan demikian, hanya orang-orang yang melanggar hukum yang ditangkap dan
diproses. Akan tetapi cara ini menjadi sangat konservatif, tidak memadai, dan
tidak menyelesaikan akar masalahanya karena kejahatan yang dilakukan sebenarnya
merupakan kejahatan terorganisir. Tiadanya tindakan tegas hingga ke akar
persoalannya menyebabkan kasus yang sama terulang di berbagai tempat, dan
menghadirkan kesimpulan bahwa negara (seakan akan) melakukan pembiaran terhadap
kasus-kasus kekerasan berbasis agama yang marak terjadi belakangan ini.
Undang-undang Isi pasal 29 ayat
1 dan 2 Tentang agama yang berbunyi :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
BAB III
PENUTUP
Dalam Pasal 29 menyimpulkan,
bahwa dalam Negara Indonesia di beri kebebasan kepada rakyatnya untuk memeluk
agama dan kepercayaannya masing - masing. Dan beribadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya. Menjalankan perintahNya, karena itu adalah sebuah kewajiban
sebagai umat yang beragama. Saling hormat menghormati antara pemeluk agama
lain, agar dapat terciptanya ketentraman dan toleransi antar pemeluk agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Menyoal
Kebebasan Beragama dan Keyakinan, http://peaceman.multiply.com/reviews/item/13