Rabu, 20 Maret 2013

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA MENURUT PASAL 29



HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA MENURUT PASAL 29
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa setiap warga Negara memiliki hak dan kewajiaban dalam memeluk agama yang tertuang dalam pasal 29.dalam UUD 1945 yang merupakan dasar Negara yang diharapkan menjamin perjalanan kehidupan bangsa beserta warganya, tentunya dalam suatu sistem ketata-negaraan mutlak hukumnya adanya suatu perundang-undangan atau peraturan yang mana fungsi utama dari kesemuanya itu adalah guna mengatur dan mengendalikan arah suatu sistem negara agar tidak melenceng dari jalurnya. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Indoneisa memiliki keberagaman budaya, tak terkecuali system kepercayaan atau agama. Yang mana memiliki 6 agama yang diakui Negara yaitu: Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Disamping toleransi antar umat beragama, Negara juga mengaturnya dalam UUD 1945 pasal 29 yang bunyinya:
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

1.2 Permasalahan
Dari skeian banyak agama di Indonesia, sering sekali kita melihat konflik yang terjadi di bumi pertiwi kita ini. Mulai dari konflik antarumat beragama hingga penistaan agama.

1.2 Tujuan
Adapun tujuannya adalah untuk saling bertolenransi antar umat beragama, demi terciptanya hidup yang harmonis, tentram dan damai.



BAB II
PERMASALAHAN
Kebebasan beragama ialah prinsip yang menyokong kebebasan individu atau masyarakat, untuk mengamalkan agama atau kepercayaan dalam ruang peribadi atau umum. Kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk menukar agama dan tidak mengikut mana-mana agama. Dalam negara yang mengamalkan kebebasan beragama, agama-agama lain bebas diamalkan dan ia tidak menghukum atau menindas pengikut kepercayaan lain yang lain daripada agama rasmi. Perkara 18 dalam Kovenan Antarabangsa PBB tentang Hak-Hak Sivil dan Politik menyatakan dasar yang menafikan kebebasan seseorang untuk mengamalkan agamanya merupakan satu kezaliman rohaniah. Kebebasan beragama merupakan satu konsep perundangan yang berkaitan, tetapi tidak serupa dengan, toleransi agama, pemisahan di antara agama dan negara, atau negara sekular (laïcité).
Perisytiharan Hak Asasi Manusia Sejagat yang diterima oleh 50 anggota Perhimpunan Agung PBB pada 10 Disember 1948, dengan lapan berkecuali, di Paris, mentakrifkan kebebasan beragama sebagai: "Setiap orang berhak kepada kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak-hak ini termasuk kebebasan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kebebasan, sama ada sendirian atau dalam masyarakat bersama orang lain dan dalam ruang awam atau peribadi, untuk menzahirkan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, amalan, penyembahan dan pengamalan agama."
Hak atas kebebasan beragam dan berkeyakinan dalam konteks memilih dan memeluk agama adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapan. Keberadaannya memiliki peran yang krusial karena penghromatan dan perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan berkaitan dengan kepastian akan terpenuhinya hak - hak sipoldan ekosob seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan. Akses administrasi kependudukan. Dalam berbagai intrumen internasional telah disebutkan bahwa cakupan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan Ruang Publik dan Ruang atau Privat atau Forum Internum dan Forum Eksternum dan Pembatasan Hak Berkeyakinan dan Beragama. Hasil Pemetaan yang dilakukan Komnas HAM menunjukkan bahwa peraturan - peraturan nasional terkait hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah tersedia mulai dari konstitusi sampai peraturan turunan dibawahnya. Namun beberapa peraturan menjadi lebih dominan dan menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan dan masing masinng daerah. Kondisi ini memacu banyaknya indikasi pelanggaran hak asasi manusia di berbagai aspek kehidupan pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan administrasi kependudukan. Akhirnya, patut digarisbawahi bahwa negara sebagai pengemban kewajiban dan  tanggungjawab perlu secara maksimal menerapkan langkah - langkah penghormatan dan perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi warga negaranya.
A. Fakta-fakta Ketidak bebasan Beragama dan Berkeyakinan
Sejarah kehidupan bangsa Indoneisa mencatat bahwa Fenomena diskriminasi dan kekerasan bukan hanya terjadi di dalam lingkup kehidupan agama. Akan tetapi di dalam lingkup kehidupan ekonomi yang berkelindan dengan masalah-masalah ras dan golongan. Diskriminasi dan kekerasan di masa lalu, khususnya di kota-kota besar, lebih didominasi oleh kecemburuan masyarakat terhadap etnis Tionghoa. Dalam kasus Sampit, yang menonjol adalah kecemburuan masyarakat setempat terhadap etnis Madura. Pada masa lalu, di Aceh dan beberapa daerah lain, kecemburuan ditujukan kepada orang Jawa, terutama karena “orang Jawa” dianggap menguasai asset dan akses politik dan ekonomi melalui fasilitas negara.  Namun sekarang ini, persoalan semakin bergeser ke ranah kehidupan agama dan keyakinan. Namun, masalah kebebasan beragama dan keyakinan, sesungguhnya telah muncul juga pada masa Orde Lama, Orde baru. Hanya pada periode reformasi ini, masalah kebebasan beragama itu semakin meningkat intensitas maupun akselerasinya. Di masa Orde Lama (1945-19660, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) RI No. 1 tahun 1965 yang menyatakan : “ agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu”. Penetapan ini bersifat menjelaskan, tidak membatasi. Hal ini dikemukakan dalam penjelasan Penpres tersebut : “ ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zaratustranian, Shinto, Taoisme, dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD’45, dan mereka dibiarkan adanya” Kata seperti artinya bahwa penyebutan beberapa kepercayaan itu sekedar contoh. Ada banyak agama dan kepercayaan lain yang berkembang dan diakui di Indonesia, seperti Kaharingan pada masyarakat Dayak (Kalteng), Pangestu pada masyarakat Jawa, atau Parmalim (Sumut), Wiwitan (Baduy-Banten). Semua agama dan kepercayaan itu dibiarkan adanya, meskipun tidak terlalu diakui eksistensinya (lihat Gaus AF, 2008).
Pada masa Orde Baru, pembatasan dilakukan terhadap agama Konghucu (yang pada masa Orde Lama justru diakui). Alasannya lebih bersifat politis, yaitu dugaan adanya keterlibatan Republik Rakyat Tiongkok pada peristiwa 1965. Sehingga melalui Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, seluruh aktivitas peribadatan Konghucu, termasuk perayaan Imlek, dilarang (ibid.) Pada masa Orde Baru, agama resmi-yang diakui oleh negara hanya lima agama tersebut di atas. Agama-agama lokal diharuskan untuk bergabung dengan agama-agama yang mirip dengan agama atau kepercayaan lokal itu. Misalnya orang-orang yang memeluk agama Kaharingan harus masuk  agama Hindu, meskipun sebenarnya kedua ajaran agama itu berbeda. Bagi mereka yang beragama Konghucu, dipaksa untuk pindah agama, menjadi Katolik atau Budha. Berbagai proses untuk meniadakan eksistensi agama atau kepercayaan lokal dilakukan, antara lain  melalui pembuatan kartu identitas diri, seperti pembuatan KSK atau KTP. Di dalam formulir yang harus diisi, hanya ada lima agama yang disebutkan, sehingga mereka yang memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda terpaksa harus menuliskan salah satu dari lima agama yang diakui oleh negara. Untuk sebagian proses-proses itu masih berlangsung sampai sekarang. 
Di masa reformasi sekarang ini, di mana kebebasan umum semakin terjamin, kebebasan beragama, terutama dari sisi keamanan para pemeluknya, justru mengalami  kemunduran. Jika di masa Orde Lama dan Orde Baru, pembatasan atas kebebasan beragama dilakukan oleh negara, sekarang pembatasan itu sebagian besar justru dilakukan oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Oleh karena itu, di jaman kebebasan ini, kelompok-kelompok minoritas, khususnya kelompok minoritas agama dan kepercayaan justru mengalami ketidakbebasan. Kasus-kasus itu bergerak dan terus semakin membesar. Mulai kasus Komunitas Eden (Lia Eden), kasus Al-Qiyadah (Ahmad Mushadeeq), kasus penyerbuaan kantor Jaringan Islam Liberal, kantor Fahmina Institute di Cirebon, penyerbuan kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), hingga kasus Penyerbuan, penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap para pengikut Ahmadiyah. Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah merupakan kasus paling besar dan nampaknya berjangka panjang, dengan puncaknya di Cikeusik, Banten. Di luar itu, kita menyaksikan penyerbuan Pesantren Syiah di Bangil-Pasuruan, Jawa Timur. Di luar semua itu, kepada kita juga disuguhkan fakta, bahwa sejak 1 Januari 2004 – 1 Desember 2007, ada 108 gereja di seluruh Indonesia yang dirusak, meskipun proses pendiriannya telah mengikuti ketentuan yang berlaku. Kasus penyerbuan dan pengrusakan gereja ini terjadi lagi di Temanggung-Jawa Tengah pada Februari ini.   
B. Apa alasan dibalik penyerbuan, pengrusakan, pembunuhan dan teror itu?
Ada banyak faktor yang memicunya. Akan tetapi, alasan mendasar yang bergerak dibalik semua kasus-kasus tersebut di atas adalah munculnya “penguasa rezim dunia moral” yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, memiliki keyakinan akan kebenarannya sendiri dan melalui jalan teror dan kekerasan, memaksakan keyakinannya kepada kelompok-kelompok lain. Mereka yang berbeda dan menolak tunduk pada kebenaran yang diusung “penguasa rezim dunia moral” ini, akan dipaksa, diserbu bahkan dibunuh. Mengikuti Foucault, penguasa rezim dunia moral ini memiliki aparatusnya sendiri. Tugas dari aparatus rezim dunia moral adalah membangun klaim-klaim kebenaran, melakukan kontrol, membangun wacana mengenai salah dan benar, serta memberikan sanksi kepada mereka yang dianggap menyimpang. Stigma kafir, murtad, menista, sesat, merupakan kata kunci untuk menyingkirkan orang atau kelompok yang memiliki keyakinan berbeda dan dengan cara itu mereka menyatakan bahwa, tindakan menyerbu, menganiaya, membunuh, merusak harta milik orang lain adalah tindakan yang dibenarkan. Soalnya adalah, mengapa kekerasan berbasis agama baru marak di masa reformasi ini? Pada masa Orde Baru, kecenderungan kekerasan oleh masyarakat dikendalikan secara ketat melalui kontrol negara, dalam hal ini aparat militer. Pada masa kebebasan sekarang ini, atas nama demokrasi, pemerintah tidak melakukan pelarangan maupun penindakan preventif. Penindakan selalu dilakukan setelah kasusnya terjadi. Dengan demikian, hanya orang-orang yang melanggar hukum yang ditangkap dan diproses. Akan tetapi cara ini menjadi sangat konservatif, tidak memadai, dan tidak menyelesaikan akar masalahanya karena kejahatan yang dilakukan sebenarnya merupakan kejahatan terorganisir. Tiadanya tindakan tegas hingga ke akar persoalannya menyebabkan  kasus yang sama terulang di berbagai tempat, dan menghadirkan kesimpulan bahwa negara (seakan akan) melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan berbasis agama yang marak terjadi belakangan ini.
Undang-undang Isi pasal 29 ayat 1 dan 2 Tentang agama yang berbunyi :
(1)   Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.


BAB III
PENUTUP
Dalam Pasal 29 menyimpulkan, bahwa dalam Negara Indonesia di beri kebebasan kepada rakyatnya untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing - masing. Dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Menjalankan perintahNya, karena itu adalah sebuah kewajiban sebagai umat yang beragama. Saling hormat menghormati antara pemeluk agama lain, agar dapat terciptanya ketentraman dan toleransi antar pemeluk agama.

DAFTAR PUSTAKA
Menyoal Kebebasan Beragama dan Keyakinan, http://peaceman.multiply.com/reviews/item/13